Senin, 08 Desember 2008

Menantikan Pemimpin yang Sederhana

Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) wafat, kaum Mus-limin segera mencari pengganti untuk melanjutkan kepemimpinan Islam. Ketika itu Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu (RA) memegang tangan Umar bin Khaththab RA dan Abu Ubaidah bin Jarrah RA sambil mengatakan kepada khalayak, “Salah satu dari kedua orang ini adalah yang paling tepat menjadi khalifah. Umar yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai orang yang dengannya Allah memuliakan Islam dan Abu Ubaidah yang dikatakan Rasulullah sebagai kepercayaan ummat ini.”

Tangan Umar gemetar mende-ngar kata-kata Abu Bakar itu, seakan ia kejatuhan bara yang menyala. Abu Ubaidah menutup mukanya dan menangis dengan rasa malu yang sangat. Umar bin Khaththab lalu berteriak, “Demi Allah, aku lebih suka dibawa ke depan lalu leherku ditebas walau tanpa dosa, daripada diangkat menjadi pemimpin suatu kaum dimana terdapat Abu Bakar.”

Pernyataan Umar ini membuat Abu Bakar terdiam, karena tidak mengharapkan dirinya yang ditunjuk menjadi khalifah. Dia menyadari dirinya sangat lemah dalam mengendalikan pemerintahan. Tidak setegas Umar dan tidak sebijak Abu Ubaidah.

Tapi akhirnya pikiran dan perasaan semua orang terarah kepada Abu Bakar. Karena dialah sesungguhnya yang paling dekat, ditinjau dari berbagai aspek, untuk menduduki jabatan khalifah yang teramat berat ini.

Setumpuk alasan dapat dikemukakan untuk menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah. Dialah orang yang dianggap paling dekat dengan Rasulullah SAW dan paling kuat imannya, sesuai pernyataan Nabi, “Kalau iman seluruh ummat Islam ditimbang dengan iman Abu Bakar, maka lebih berat iman Abu Bakar.”

Maka terangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi SAW. Saat pertama kali Abu Bakar menginjakkan kaki di mimbar Rasulullah, ia hanya sampai pada anak tangga kedua dan duduk di situ tanpa berani melanjutkan ke anak tangga berikutnya, sambil berpidato, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya aku diangkat menjadi pemimpin kalian, tapi aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka bantulah aku. Dan jika aku berbuat kesalahan, maka luruskanlah aku. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di sisiku, hingga aku berikan hak kepadanya. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika aku durhaka, janganlah kalian taat kepadaku.”

Sang khalifah berusaha menjaga wibawa kepemimpinan. Tapi dalam kedudukannya sebagai seorang pemimpin dia berusaha meyakinkan orang yang di bawah kepemimpinannya bahwa jabatan adalah amanah yang menuntut tanggung jawab, bukan penguasaan. Pengu-asa adalah satu orang di antara ummat, bukan ummat dalam satu orang. Abu Bakar tidak mengi-nginkan karena jabatan, dia jadi jauh dengan ummat. Sebaliknya, dia ingin semakin dekat dengan mereka. Terhadap ketentuan Nabi dia menyatakan, “Saya lebih rela diterkam serigala daripada mengubahnya.”

Demikianlah gambaran ketegangan yang terjadi pada waktu pemilihan jabatan khalifah. Semua orang menolak jabatan, padahal kapasitas para sahabat sangat memadai untuk memegang kekuasaan.

***

Ketika Abu Bakar wafat, Umar bin Khaththab disepakati tampil sebagai pengganti. Umar yang memegang amanah selama dua dekade (10 tahun) lebih 6 bulan dan 4 hari, berhasil menggurat sejarah yang mengubah peta dunia.

Lelaki perkasa yang digambarkan kekuatannya saat menentang Islam di zaman jahiliyah sama dengan kekuatan seluruh kaum Quraisy, telah tampil dengan perkasa pula di zaman Islam membela kebenaran, membayar dosa-dosa jahiliyahnya.

Dia larutkan dirinya dalam pengabdian mewujudkan pemerin-tah yang bersih dan bertanggung jawab. Kontrolnya berjalan efektif, sehingga seluruh rakyatnya tidak ada yang luput dari perhatiannya.

Ketika penduduk pinggiran kota kena paceklik, Umar sendiri yang memikul gandum di pundaknya, lalu mengantarkan ke rakyatnya yang tengah dilanda kelaparan. Lalu penduduk itu segera dipindah-kan ke kota untuk mempermudah pemantauannya.

Suatu malam, kota Madinah kedatangan kafilah yang membawa barang dagangan. Diajaknya Abdurrahman bin Auf menemani penjaga kafilah itu semalam suntuk. Tapi tidak jauh dari tempat kafilah itu ada bayi yang selalu menangis, tidak mau diam. Umar berulangkali menasihati, bahkan memarahi ibunya, karena tidak dapat mendiamkan anaknya.

Ibu sang anak itu lalu berkomentar bahwa, “Inilah kesalahan Umar, karena hanya anak yang tidak menyusui yang diberi tunjangan, sehingga anak yang usianya baru beberapa bulan ini terpaksa saya sapih.” Umar sangat terpukul mendengar kata-kata ibu itu.

Ketika menjadi imam shalat Shubuh, bacaan ayatnya tidak jelas karena diiringi tangis. Usai shalat, Umar langsung mengumumkan bahwa seluruh anak kecil mendapat tunjangan dari baitul mal, termasuk yang masih menyusu.

Tegas dan Sederhana

Prinsip ketegasan dan kesederhanaan dipegang kuat oleh Umar. Para gubernur yang bertugas di daerah cukup kewalahan dengan sikap itu.

Pernah ‘Amru bin Ash, gubernur yang sangat berjasa menaklukkan Mesir, diberi hukuman cambuk karena seorang rakyat Mesir melapor bahwa dirinya pernah dipukul sang gubernur. Orang yang melapor itu sendiri yang disuruh memukulnya.

Pernah juga Abdulah bin Qathin, seorang gubernur yang bertugas di Hamash, dilucuti pakaiannya lalu disuruh menggantinya dengan baju gembala, kemudian disuruh menggembala domba beberapa saat. Sebelumnya ada yang diperintahkan membakar pintu rumahnya, karena salah seorang rakyatnya bercerita setelah ditanya oleh Umar tentang keadaan gubernurnya. Dia menjawab, “Cukup bagus, hanya sayangnya dia mendirikan rumah mewah.”

Kemudian gubernur itu disuruh memasang kembali pintunya dan dipesan, “Kembalilah ke tempat tugasmu tapi jangan berbuat demikian lagi. Saya tidak pernah memerintahkan engkau memba-ngun rumah besar,” tegas Umar.

Sebaliknya, terhadap gubernur-nya yang sederhana, Umar sangat sayang. Seperti yang dilakukannya terhadap Sa’ad bin Al-Jamhi yang diprotes rakyatnya karena selalu terlambat membuka kantornya, tidak melayani rakyatnya di malam hari dan tidak membuka kantor sehari dalam seminggu. Itu dilaku-kan karena Sa’ad tidak memiliki pembantu sehingga dia membantu istrinya membuatkan adonan roti. Nanti setelah adonan itu mengembang, barulah berangkat ke kantor.

Sa’ad tidak melayani rakyatnya di malam hari karena waktu itu digunakan untuk bermunajat dan memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sengaja tidak membuka kantor sehari dalam seminggu kecuali di sore hari karena ia harus mencuci pakaian dinas dan menunggu hingga kering.

Kalau di zaman sekarang, model kepemimpinan seperti ini mungkin dianggap tidak efektif. Orang menyebutnya manajemen tukang sate, yakni harus mengiris daging sendiri, menusuk sate, dan membakarnya sendiri.

Tentu letak perbedaannya ada pada pola pikir dan cara pandang. Para sahabat Nabi sangat takut terhadap pertanggungjawaban di akhirat. Sekecil apapun persoalan ummat menjadi perhatiannya. Berbeda dengan kebanyakan kepemimpinan saat ini dengan prinsip yang penting ada pembagian tugas, lalu pandai membuat laporan. Tidak peduli laporan itu fiktif atau bukan. Ditambah dengan lemahnya kontrol dan pemantauan, maka dimana-mana terjadi penyelewengan.

Sungguh dapat kita bayangkan seperti apa nasib negeri kita kalau orang-orang yang duduk di puncak kekusaan memiliki orientasi berpikir seperti itu. Sangat mengerikan.

Sungguh tidak keliru bila ummat di zaman kini kembali berkaca kepada kesederhanaan sahabat. Alangkah mulianya pribadi Umar bin Khaththab yang membuat peraturan untuk para gubernurnya:

1. Jangan memiliki kendaraan istimewa

2. Jangan memakai pakaian tipis (halus dan mahal harganya)

3. Jangan mengkonsumsi makanan yang enak-enak

4. Jangan menutup rumahmu bila orang memerlukanmu

Semua itu dimaksudkan agar para gubernur dapat merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat yang dipimpinnya.

Semoga pemimpin di negeri ini dapat merenungi beratnya tanggung jawab memegang amanah rakyat. Bila tidak, bisa jadi akan diadili oleh mahkamah sejarah. Lebih menge-rikan lagi tuntutan tanpa pembela di mahkamah akhirat nanti.* (Manshur Salbu/Hidayatullah).

HAKIKAT PEMIMPIN

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan, Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat (HR. Ahmad).

Di dalam Islam, pemimpin kadangkala disebut imam tapi juga khalifah. Dalam shalat berjamaah, imam berarti orang yang didepan. Secara harfiyah, imam berasal dari kata amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus selalu didepan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti itu dibelakang atau datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh orang yang dipimpinnya kearah kebenaran.

Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam pandangan Islam, pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam pandangan Islam yang secara garis besar dalam lima lingkup.

1. Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan.
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya,. Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah Swt. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya.

Oleh karena itu, ketika Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang cemerlang datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia dating sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan yang mulia sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya. Setelah ia tahu bahwa Umar sang khalifah yang disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan. Karena kepemimpinan itu tanggung jawab atau amanah yang tiodak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu kepastian, Rasulullah Saw bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas
Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit. Karenanya dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 400 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 10 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya. Karena itu menjadi terasa aneh bila dalam anggaran belanja negara atau propinsi dan tingkatan yang dibawahnya terdapat anggaran dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli pakaian bagi para pejabat, padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang mahal sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.

3. Kerja Keras, Bukan Santai.
Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk Selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan optimisme.

Saat menghadapi krisis ekonomi, Khalifah Umar bin Khattab membagikan sembako (bahan pangan) kepada rakyatnya. Meskipun sore hari ia sudah menerima laporan tentang pembagian yang merata, pada malam hari, saat masyarakat sudah mulai tidur, Umar mengecek langsung dengan mendatangi lorong-lorong kampung, Umar mendapati masih ada rakyatnya yang masuk batu sekedar untuk memberi harapan kepada anaknya yang menangis karena lapar akan kemungkinan mendapatkan makanan. Meskipun malam sudah semakin larut, Umar pulang ke rumahnya dan ternyata ia memanggul sendiri satu karung bahan makanan untuk diberikan kepada rakyatnya yang belum memperolehnya.

4. Kewenangan Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.
Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR. Abu Na’im)

Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianat yang paling besar, Rasulullah Saw bersabda: Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya (HR. Thabrani).

5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.
Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan kebenaran.

Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah Saw tunjukkan keteladanan dan kepeloporan dalam banyak peristiwa. Ketika Rasulullah Saw membangun masjid Nabawi di Madinah bersama para sahabatnya, beliau tidak hanya menyuruh dan mengatur atau tunjuk sana tunjuk sini, tapi beliau turun langsung mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis sekalipun. Beliau membawa batu bata dari tempatnya ke lokasi pembangunan sehingga ketika para sahabat yang lebih muda dari beliau sudah mulai lelah dan beristirahat, Rasul masih terus saja membawanya meskipun ia juga nampak lelah. Karena itu seorang sahabat bermaksud mengambil batu yang dibawa oleh nabi agar ia yang membawanya, tapi nabi justeru menyatakan: “kalau kamu mau membawa batu bata, disana masih banyak batu yang bisa engkau bawa, yang ini biar tetap aku yang membawanya”. Karenanya para sahabat tetap dan terus bersemangat dalam proses penyelesaian pembangunan masjid Nabawi.

Dari penjelasan di atas, kita bisa menyadari betapa penting kedudukan pemimpin bagi suatu masyarakat, karenanya jangan sampai kita salah memilih pemimpin, baik dalam tingkatan yang paling rendah seperti kepala rumah tanggai, ketua RT, pengurus masjid, lurah dan camat apalagi sampai tingkat tinggi seperti anggota parlemen, bupati atau walikota, gubernur, menteri dan presiden. Karena itu, orang-orang yang sudah terbukti tidak mampu memimpin, menyalahgunakan kepemimpinan untuk misi yang tidak benar dan orang-orang yang kita ragukan untuk bisa memimpin dengan baik dan kearah kebaikan, tidak layak untuk kita percayakan menjadi pemimpin. wollohu a'lam.

Minggu, 30 November 2008

Kezuhudan Sang Khalifah

Kezuhudan Sang Khalifah

Jangankan untuk korupsi, mengambil sesuatu yang menjadi haknya sendiri
saja, beliau enggan melakukannya. Itulah Khalifah Umar bin Khatthab,
yang terkenal kezuhudannya. Meski beliau berposisi sebagai kepala negara
atau amirul mukminin, beliau tak pernah tergiur dengan gemerlapnya
harta benda.

Ketika menerima utusan dari negara-negara di jazirah Arab yang telah
ditaklukkan, beliau menyambutnya dengan mengenakan satu- satunya jubah
beliau yang penuh tambalan yang lusuh. Berapa tambalannya?. Tambalannya
ada di 12 tempat.

Sebagai pengganti Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, mestinya beliau
berhak mendapatkan gaji yang lebih banyak dari Khalifah Abu Bakar. Soalnya
wilayah kekhilafahan Islam waktu itu semakin luas berlipat ganda,
sehingga semakin banyak pula tugas dan kewajibannya. Kehidupan rakyat pun
semakin makmur. Ternyata beliau lebih memilih menerima gaji yang sama
dengan yang diterima oleh Khalifah Abu Bakar, pendahulunya.

Orang-orang terdekatnya merasa iba dan prihatin atas sikap
kesederhanaannya itu. Beberapa kali mereka mengusulkan agar Khalifah Umar mau
menerima gaji sesuai tanggung jawabnya. Tetapi usulan itu selalu beliau
tolak.

"Mengapa kalian memaksaku untuk menerima gaji yang melebihi
kebutuhanku. Ketahuilah, walaupun Rasulullah SAW diampunkan dosanya yang telah
lalu dan yang kemudian, namun beliau tetap memilih hidup sederhana, tetapi
tetap bersemangat dalam beribadah. Apalagi aku ini?," kata beliau.


http://www.oaseislam.com/modules.php?name=News&file=article&sid=180

Selasa, 18 November 2008

MENUJU AKHIRAT

MENUJU AKHIRAT

Perjalanan manusia telah dimulai sejak Nabi Adam as. pada tahun yang
belum diketahui hitungan pastinya. Kita pun melihat anak-anak Adam dari
generasi ke generasi telah menyelesaikan perjalanannya ke akhirat
melalui dunia ini. Ada yang membutuhkan waktu 100 tahun, 500 tahun, 1.000
tahun, dan kini rata-rata hanya 60-an tahun. Betapa singkatnya waktu
tempuh yang dibutuhkan manusia di dunia ini untuk sampai ke akhirat. Bahkan
jika diukur dengan hari-hari di akhirat, dimana sehari di sana sama
dengan seribu hari di sini, berarti tidak ada satu pun umur manusia di
bumi ini yang melebihi sehari di akhirat. Nabi bersabda, bahwa perjalanan
di dunia ini ibarat orang menyeberang jalan saja. Sungguh sangat
sebentar. Tapi, justru yang sebentar ini banyak membuat orang lupa. Ia
mengira dunia ini tempat tujuannya. Padahal dunia adalah mazra''atul akhirah
(tempat menanam untuk akhirat). Di sinilah kita menanam, tapi di
sanalah kita memanen.

Tak satu pun manusia akan lepas dari kematian, karena kematian adalah
salah satu ''terminal'' di tengah perjalanan yang harus kita lewati,
bahkan menjadi tempat berhenti sejenak. Bagaikan orang bernaung di bawah
rindangnya pohon di tengah perjalanan untuk melepas lelah barang
sebentar, lalu melanjutkan perjalanannya kembali sampai ke tujuannya, yakni
''''ibu kandungnya''''. Sebagaimana dituturkan dalam Alquran,
''''....adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)-nya, maka ''ibunya''
adalah Hawiyah. Tahukah kami, apakah Hawiyah itu? (Yaitu) api yang
sangat panas''''. (QS.101:8-11).

Setiap perjalan pasti membutuhkan perbekalan. Apalagi perjalanan yang
sangat jauh, tentunya bekalnya pun harus cukup supaya selamat sampai
tujuan. Bedanya, perjalanan ke akhirat bekalnya tidak berbentuk materi,
melainkan amal perbuatan. Setiap orang mempunyai catatan amalnya
masing-masing yang dibukukan dalam sebuah kitab,'''' ....di sisi Kami ada suatu
kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dizalimi''''.

(QS.23:62). Yakni kitab tempat para malaikat menuliskan
perbuatan-perbuatan seseorang dengan sejujur-jujurnya tanpa pilih kasih, biarpun buruk
atau baik, yang akan dibacakan pada hari kiamat. Ketika setiap manusia
menghadap Allah satu per satu, maka dikatakan padanya: ''''Inilah
kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya
Kami telah menyuruh (para malaikat) mencatat apa saja yang telah kamu
kerjakan''''. (QS.45:29).

Bagi orang-orang yang timbangan kebaikannya ringan, artinya perbuatan
dosanya lebih besar, maka ''''ibu kandungnya'''' (baca: tempat
kembalinya) adalah Hawiyah. Sedangkan orang-orang yang timbangan kebaikannya
berat, ''''...maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan''''.
(QS.101.7) Siapakah mereka itu? Bagi seorang muslim, dunia bukanlah tujuan.
Dunia adalah ibu tiri. Dunia bukanlah ibu yang melahirkan kita. Kita
adalah anak-anak akhirat. Akhirat adalah ''''ibu kandung'''' kita. Akhirat
adalah ''''ibu'''' kita yang sebenarnya. Yang selalu menjadi tempat kita
mencurahkan cinta dan penuh harap. Di sanalah kita menuju dan tempat
berakhir. Di sanalah peluk cium yang kita dambakan selama ini. Dunia
adalah tempat kita ditempa, dididik, dan diuji. Siapa yang lulus semua
ujian itu, merekalah yang berhak diterima di pangkuan ''''ibu'''' di
surga. Tapi, siapa pun mereka yang gagal, tempatnya adalah di Hawiyah, yakni
api neraka yang bergejolak. Semoga kita semua diterima sebagai
anak-anak akhirat yang berbakti pada ''''ibu'''' dan mendapat tempat yang
memuaskan.

Sumber: Menuju Akhirat oleh Fauzan Al-Anshari

Selasa, 11 November 2008

Galeri



















Tugas Kuliah

tugas ini berupa saran dan masukan (kya yg udah jago aja y gw)

http://www.tempointeraktif.com/
merupakan sebuah web yg menyajkan berita secara interaktif
pertama yg dibahas adalah tampilan dari web tersebut, menurut penilaian saya (orang lembur) background yg dibuat untuk kolom iklan menjadikan web tersebut terlalu berbelit2.
kedua susunan berita yg ditampilkan mungkin kurang tersusun rapih
yg terakhir adalah judul besar tidak memiliki pariasi menjadikan kurang seimbang antara berita dan judul tersebut.

terima kasih.

reset epson c90



Hari2 kemaren Printer Epson C90 milik kantor blinking, boro2 buat ngeprint buat replace cartridge atau ngeload paper aja nggak bisa, tu printer cuma idup aja! trus gw matiin lagi y gw idupin lagi pengen nyoba eh ttp aja diam seribu bahasa!

gw cari2 moga ada yg senasib di net, eh banyak jg! ada yg bae ngasih downloadan resetnya trus gw cobain di reset tu printer, eh cuma beberapa menit tu printer bs jalan sediakala dan dapat membantu lg nambahin pundi saku gw!

Nah aku bagi deh software resetter printer C90 buat kamu semua.

Langkah-langkah:

Download C90_adjustment.rar

Sebelum menjalanin AdjProg ikutin dulu langkah dibawah ini

- Printer On

- Cek di file properties tanggal modified AdjProg

- Jalankan file Date cracker dulu untuk merubah tanggal sesuai tanggal modified AdjProg.

- Rubah tanggal sekarang ke tanggal modified AdjProg

- Jalankan Adjustment Program

- Pilih Accept

- Pilih Particular adjustment mode

- Pilih “Waste ink pad counter - OK

- Klik “Initialization”

- Matikan Printer dan hidupkan lagi.

Atau pakai software yg ini

Download C90.rar

Waktu extract masukin password ini : www.hylmishafiy.net

Langkah2 untuk meresetnya ikuti instruksi di atas,

Mengapa printer perlu direset ? nah khusus untuk printer jenis baru misal C90 Epson,

  • Penyebab biasanya spon penyerap tinta penuh
  • Permasalahan : Blinking tidak bisa direset dengan software SSC
  • Solusi Spon dibersihkan, kemudian lakukan reset kalau tidak bisa coba reset menggunakan software adjusment program
Semoga bermanfaat, kalau sukses silahkan berbagi
klo ttp g mo lo tinggal ka padiki (dikilo) he....

Minggu, 09 November 2008

ARTI & ASAL TRINITAS

Dogma ini berasal dari paham Platonis yang diajarkan oleh Plato (?-347 SM), dan dianut para pemimpin Gereja sejak abad II (Tony lane 1984). Edward Gibbon dalam bukunya The Decline and fall of the Roman Empire, hal 388, mengatakan:
  • "Plato consider the divine nature under the thee fold modification: of the first cause, the reason, or Logos; and the soul or spirit of the universe...the Platonic system as three Gods, united with each other by a mysterious and ineffable qeneration; and the Logos was particularly considered under the more accessible character of the Son of an eternal Father and the Creator and Governor of the world".

    (Plato menganggap keilahian alami terdiri dari atas tiga bagian: Penyebab awal, Firman (Logos), dan Roh alam semesta....Sistem Platonis sebagai tiga Tuhan, bersatu antara satu dengan lainnya melalui kehidupan yang baka dan misterius; dan Firman (Logos) secara khusus dianggap yang paling tepat sebagai Anak Bapak yang baka dan sebagai pencipta dan penguasa alam semesta).

Ajaran tiga Tuhan dalam satu ini bukan hanya dianut masyarakat Yunani dan Romawi, tetapi juga mereka yang mendiami wilayah Asia Barat, Tengah, Afrika Utara dan pengaruhnya menjalar ke beberapa kawasan lainnya di dunia.

  • Watch Tower and Bible Tract Society of Pennsylvania, 1984, menjelaskan:

    "Throuqhout the ancient word, as far back as Babylonia the worship of paqan qods qrouped in triplets were common. This practice was also prevalent, before, during, and after Christ in Egypt, Greece and Rome. After the death of the Apostles, such pagan be(iefs beqan to invade Christianity".

    (Dunia di zaman purbakala, sejak masa kerajaan Babilonia, sudah terbiasa menyembah berhala, tiga Tuhan dalam satu. Kebiasaan ini juga banyak ditemukan di Mesir, Yunani dan Romawi, baik sebelum, selama maupun sesudah Yesus. Setelah kematian murid-murid Yesus, kepercayaan penyembah berhala ini kemudian merasuk ke dalam agama Kristen).